. . .

Teladan Santri


Nyai Hj. Shofiyah merupakan putri pertama dari KH. Abdul Qadir dari istri yang bernama Ibu Nyai Hj. Munjiyah. Beliau memiliki 4 saudara. Lahir di Kedung Paruk, Sukawera Cilongok Kabupaten Banyumas Kota Purwokerto pada tanggal 31 Desember 1960. Dalam keseharian akrab dipanggil dengan Ibu Shof.
  • Riwayat Pendidikan

Beliau menempuh pendidikan formal di SD Sukawera, selesai dari SD langsung dilanjutkan ke Pondok Pesantren Al-Hikmah 1 Benda Bumiayu dibawah naungan KH. Masruri selama 4 tahun di Sekolah Mu'alimat. Kemudian beliau pulang dan meneruskan nyantri di Kalibeber tepatnya di PPTQ Al-Asy'ariyyah. Dan disinilah Ibu Shof bertemu dengan seorang pemuda di kala itu yang kelak akan menjadi pendamping hidup beliau.
Ibu Shof mulai menghafal Al-Qur'an pada tahun 1979, delapan bulan menghafal baru mendapatkan 6 juz, kemudian dilanjutkan setelah bersuami dan memiliki 1 putra nyantri lagi di Maron Purworejo dalam asuhan Ibu Nyai Hj. Shofiyah, Alhdz.
Prinsip hidup beliau adalah ingin menghafal Al-Qur’an karena Lillahi ta’ala, bisa membaca Al-Qur'an dengan tartil, bagus, tidak ingin menghafal Al-Qur'an untuk tujuan disanjung-sanjung atau ria, agar bisa bermanfaat untuk diri sendiri khususnya dan untuk masyarakat pada umumnya.
Beliau menikah pada tahun 1980 di Kalibeber dengan KH. Ahmad Faqih Muntaha putra sulung dari Al Maghfurlah KH. Muntaha, Alh (Alm) dan dikaruniai 5 putra dan 1 putri.
Dari berbagai pengalaman yang pernah beliau alami selama menjadi seorang santri, yang paling berkesan bagi beliau adalah kegemaran membaca Al-Qur'an dan sholawat. Pengalaman beliau pertama memiliki santri ialah membantu perjuangan Simbah Muntaha di Pondok Pesantren milik ayah mertuanya itu, setelah Almaghfurlah KH. Muntaha, Alh wafat maka barulah beliau meneruskan untuk mengasuh dan mengajari santri-santri di Pondok Pesantren bersama dengan suami tercinta (Abah Faqih Muntaha).
Asal mula beliau mukim di Kalibeber, berawal ketika beliau hendak meneruskan untuk nyantri di Pondok Pesantren Qur'an, bertanya-tanya kepada teman-teman seperjuangan beliau “Apike sekang Benda Bumiayu ki neruske nang ndi ? ”, teman-teman beliau menjawab “Oh nang Wonosobo bae”. Berangkatlah beliau ke Wonosobo bersama saudara sepupu dan ayahanda, karena zaman dahulu belum ada angkot, jadi dari Sapen Wonosobo sampai ke Kalibeber mengendarai andong atau dokar 2 kali. Kemudian beliau diterima oleh Simbah Muntaha. Ketika Simbah menyuguhi dhaharan, ditanyalah ayahanda beliau “Putra nomer pinten ?” dijawablah “Mbajeng (pertama)”, dan Simbah bertaya kembali “Putrane pinten ?”, dijawab lagi oleh ayahanda beliauGangsal, niki sing nomer setunggal badhe nderek ngaos teng riki”, Simbah berkata “Kulo anake kalih” (yang pertama Pak Josi Memet putra dari Pak Mufid, dan yang kedua Abah Faqih putra dari Simbah). Kemudian Ayahanda dan sepupu beliau disuruh untuk bermalam oleh Simbah karena tiba di Kalibeber menjelang Maghrib dan diajak dhaharan bersama Simbah.
Mulanya disana belum ada santri-santri yang mengaji kitab, kemudian beliau izin untuk ikut mengaji kitab dan Simbah memperbolehkan. Disitu belum ada rencana perjodohan dengan Abah, Abah di Pondok Pesantren Termas kemudian pulang dan didhawuhi Simbah “Wis arep mbojo yo luru”, Abah sudah mencari sampai kemana-mana tetapi akhirnya bertemulah dengan santri Pondok Pesantren milik ayahandanya sendiri. Delapan bulan Ibu Shof menghafal Al-Qur’an baru mendapatkan 6 juz, beliau didhawuhi Simbah untuk menikah dengan Abah Faqih, awalnya beliau belum mau karena ngajinya belum selesai, akan tetapi dhawuh Simbah “Wis pokoke nek ora manut karo Simbah ki ora manfaat ilmune”, dan akhirnya beliau mengikuti dhawuh Simbah.
Mengayomi Santri
Beliau berusaha mengayomi santri-satrinya bersama Abah. Sebagai seorang wanita, beliau hanya ikut manut meneruskan. Kemampuan beliau dibidang membaca Al-Qur'an ya meneruskan Qur'annya, beliau belum begitu memahami dan belum berpengalaman dibidang kajian kitab-kitab, karena memang niat awal beliau adalah ingin hafal Al-Qur'an, membaca Al-Qur'an dengan bagus, berharap supaya beliau dan anak cucu beliau bisa Hafidz Hafidzoh dan menjadi ahli Qur'an. Do'a beliau setiap hari “Mudah-mudahan semua keturunan bisa meneruskan Qur'annya, meneruskan perjuangan Simbah, dah hafal Al-Qur'an semua”. Dan untuk kajian kitab-kitab yang diajarkan kepada santri-santri sudah diwakilkan kepada putra-putranya yang telah berpengalaman belajar di Pondok Pesantren Yaman “Ribat Ta'lim Khadzral Maut” di bawah asuhan Habib Salim As-Satiri.
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia pasti memiliki masalah, terkadang beliau kewalahan menyimak begitu banyak santri-santri yang setoran. Dan kesulitan yang beliau rasakan saat mengaji bersama para santri adalah kelelahan beliau ketika menyimak selama 2 jam. Beliau sudah duduk sampai kesemutan menunggu santri setoran namun santri-santri tidak berusaha mengerti keadaan beliau, mereka tidak bergegas cepat maju setoran, hingga menuntut beliau agar benar-benar sabar dalam menghadapinya. Dan sekarang beliau mengatasi masalah itu dengan cara setelah menyimak santri-santri yang hafidzoh dan sudah bagus bacaannya, beliau meminta mereka untuk membantu meneruskan menyimak santri-santri yang lain.
Menurut Ibu, santri-santri sekarang Alhamdulillah sudah mengalami perkembangan yang bagus karena ditekankan agar santri setoran dengan tartil, tidak terlalu cepat meskipun sudah lancar. Jika santri bisa setoran dengan tartil, semua ayat dapat terbaca dan bisa mempermudah beliau dalam menyimak mana-mana saja yang sekiranya perlu diperbaiki kesalahannya, diulang bacaannya, pelan tapi pasti dan terkontrol. Andaikan disimak satu hari tidak selesai pun tidak masalah. Bagi yang sudah khatam ditekankan setidaknya minimal 1 juz harus disimakkan, dan bagi yang belum  khatam, ditentukan setorannya cukup satu muka saja, jika belum lancar tidak boleh setoran terlalu banyak, tapi bagi yang sudah lancar itu boleh setoran ¼ juz. Santri-santri yang tahfidz dinilai sudah baik, mereka giat mengikuti Taqroran setiap malam Ahad, malam Senin dan malam Kamis.
Menurut beliau, santri yang baik ialah santri yang mampu menghabiskan waktunya di pondok pesantren, tidak pergi keluar pesantren kecuali untuk Tholabul 'ilmi. Motivasi yang beliau berikan kepada santri yaitu agar santri bisa menjaga almamater pondok pesantren, berniat sungguh-sungguh menuntut ilmu, mematuhi peraturan-peraturan pondok, disiplin, ta’dzim terhadap guru, andhap ashor, sebagai santri yang memang benar-benar berniat mondok itu harus bisa prihatin dalam kehidupan pesantren yang tidak nyaman, kalau tidak betah ya harus nekat dipaksa “Allahumma paksa. Karena fasilitas di pondok serba kekurangan dan terbatas, tidak seperti di rumah sendiri yang serba kecukupan. Menurut beliau, santri yang niatnya sungguh-sungguh maka Insya Allah akan berhasil, menjadi bekal di dunia dan akhirat, dunia manfaat akhiratpun manfaat, intinya itu menjadi “Ahlul Jannah”.
Ibu Shof berharap agar santri-santrinya bisa memanfaatkan ilmunya di masyarakat, menjadi santri yang sukses, bisa mengembangkan ilmu-ilmu yang telah didapatkan atau dipelajari dari pondok dan diamalkan untuk diri sendiri khususnya dan untuk orang lain umumnya, “Sa'iidun fiddunya Sa'iidun fil akhirat : Bejo ning dunia Bejo ning akhirat” (Beruntung di Dunia Beruntung di Akhirat). Pesan beliau, sebisa mungkin santri harus istiqamah ibadahnya, seperti shalat malam, shalat dluha itu jangan sampai ketinggalan, puasa senin kamis, ibadah yang sempurna, khusyu', tawadlu', utamakan kejujuran dimanapun kita berada, entah itu di pondok, luar pondok, di rumah atau di mana saja. Kalau santri bisa jujur insya Allah selamat di dunia dan akhiratnya, serta disiplin dalam segala hal demi menuju kebaikan.
Comments
0 Comments